Selasa, 23 Juni 2009

SEBUAH ERA

Sebuah Era dengan Kejadian-Kejadian Penting
Pada tahun 1919, HOS Tjokroaminoto bertemu tiap hari Kamis siang di Kota Surabaya dengan dua saudara sepupunya. Mereka adalah KH M Hasjim As'yari dari Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang dan KH A Wahab Chasbullah.Tjokroaminoto disertai menantunya Soekarno, yang kemudian hari disebut Bung Karno.
Mereka mendiskusikan hubungan antara ajaran agama Islam dan semangat kebangsaan/ nasionalisme. Terkadang hadir HM Djojosoegito, anak saudara sepupu keduanya, yang kemudian hari (tahun 1928) mendirikan Gerakan Ahmadiyah. Dari kenyataan-kenyataan di atas dapat dipahami mengapa Nahdlatul Ulama didirikan tahun 1926, selalu mempertahankan gerakan tersebut.
Di kemudian hari, seluruh gerakan Islam itu dimasukkan ke elemen gerakan yang berupaya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Itu adalah perkembangan sejarah. Ada generasi kedua dalam jajaran pendiri negeri kita, yaitu Kahar Muzakir dari PP Muhammadiyah, KH Abdul Wahid Hasyim dari NU, dan HM Djojosoegito (pendiri gerakan Ahmadiyah).
Tiga sepupu yang lahir di bawah generasi KH M Hasjim As'yari itu banyak jasanya bagi Indonesia. Mereka banyak mengisi kegiatan menuju kemerdekaan negeri kita. Setelah wafatnya Djojosoegito, muncul letupan keinginan membubarkan Ahmadiyah,tanpa mengenang jasajasa gerakan itu di atas. Padahal dalam jangka panjang,jasa-jasa itu akan diketahui masyarakat kita.
Dalam melakukan kegiatan,mereka tidak pernah kehilangan keyakinan. Apa yang mereka lakukan hanya untuk kepentingan Indonesia merdeka.Karena itu,segala macam perbedaan pandangan dan kepentingan mereka disisihkan.Mereka mengarahkan tujuan bagi Indonesia. Mereka terus menjaga kesinambungan gerakan yang ada,guna memungkinkan lahirnya sebuah kekuatan yang terus menggelorakan perjuangan.
Hingga kemudian,NU melahirkan sebuah media pada 1928yangdinamai SoearaNU. Hal itu dilakukan guna memantapkan upaya yang ada.Pondok Pesantren Tebuireng Jombang dipakai untuk kepentingan tersebut. Dalam nomor perdana majalah Soeara NU, KH Hasjim As'yari menyatakan bahwa ia menerima penggunaan rebana dan beduk untuk keperluan memanggil salat.
Namun, dia menolak penggunaan kentungan kayu. Menurutnya, penggunaan beduk dan rebana didasarkan pada sesuatu yang dilakukan Nabi Muhammad SAW.Sementara penggunaan kentungan kayu tidak ada dasarnya.Hal ini disanggah oleh orang kedua NU waktu itu, yaitu KH Faqih dari Pondok Pesantren Maskumambang di Gresik.
Hal itu dimuat sebagai artikel balasan dalam media "Soeara NU"edisi selanjutnya.KH Faqih menyatakan, "Apakah KH Hasyim lupa pada dasar pembentukan hukum dalam NU, yaitu Alquran,hadis, ijmak,dan qiyas?" Segera setelah itu, KH Hasyim As'yari mengumpulkan para ulama dan santri senior di Masjid Tebuireng.
Dia menyuruh dibacakan dua artikel di atas.Kemudian, dia mengatakan, mereka boleh menggunakan pendapat dari KH Faqih Maskumambang asalkan kentungan tidak dipakai di Masjid Pondok Pesantren Tebuireng itu. Terlihat di sini betapa antara para ulama NU itu terdapat sikap saling menghormati meski berbeda pendirian.
Hal inilah yang harus kita teladani dalam kehidupan nyata. Penerimaan akan perbedaan pandangan sudah berjalan semenjak Fahien memulai pengamatannya atas masyarakat Budha di Sriwijaya dalam abad ke-6. Prinsip ini masih terus berlanjut hingga sekarang di negeri kita dan hingga masa yang akan datang. Sudah pasti kemerdekaan kita harus dilaksanakan dengan bijaksana dan justru digunakan untuk lebih mengokohkan perdamaian dunia.
Karena itu, diperlukan kemampuan meletakkan perdamaian dalam penyusunan politik luar negeri,yang diiringi dengan tujuan memperjuangkan kepentingan bersama. Bukankah dengan demikian menjadi jelas bagi kita bahwa menerima perbedaan pendapat dan asal-muasal bukanlah tanda kelemahan, melainkan menunjukkan kekuatan.
Bukankah kekuatan kita sebagai bangsa terletak dalam keberagaman yang kita miliki? Marilahkitabangunbangsadankita hindarkan pertikaian yang sering terjadi dalam sejarah. Inilah esensi tugas kesejarahan kita, yang tidak boleh kita lupakan sama sekali.(*)
Sumber: Seputar Indonesia , Selasa 21 April 2009

KYAI MUTAMAKIN

Kyai Mutamakkin dan Perubahan Strategi NUTahun lalu, penulis diminta menyampaikan makalah dalam sebuah seminar yang diselenggarakan oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah di Ciputat Jakarta. Seminar itu diselenggarakan untuk memperkenalkan buku karangan Zainul Milal Bizawie tentang Kyai Ahmad Muamakkin. Dalam kesempatan itu, penulis hanya berbicara tentang hal-hal yang mendasar, tanpa mempersiapkan sebuah makalah tertulis. Karena harus berbicara mengenai Kyai Ahmad Mutamakkin dari Kajen, Pati (Jawa Tengah), maka yang dipentingkannya adalah perbedaan dasar beliau dengan para ulama lain dari massa itu. Sebagaimana diketahui, kyai yang hidup dan berkiprah dalam paruh kedua abad ke-18 Masehi, mengalami dua buah macam penguasa. Mereka adalah Amangkurat IV dari Kartasura dan Pakubuwono II di Surakarta Hadiningrat.Beliau terlibat dalam perdebatan seru ketika diadili oleh Katib Anom, semacam menteri agamanya, Amangkurat IV. Pemeriksaan pandangan-pandangan beliau oleh Katib Anom, yang notabene cucu Sunan Kudus, direkam dalam sebuah tembang Kraton yang berjudul Serat Cebolek. Nama sebuah desa yang terletak di sebuah selatan desa Kajen di atas. Serat yang menggunakan bahasa sastra Jawa yang tinggi ini, akhirnya dijadikan pokok disertasi doctoral oleh Subardi, pada salah sebuah Universitas terkemuka di Australia. Disertasi itu ditulis dalam bahasa Inggris dan sudah sewajarnya ia diterjemahkan ke dalam bahasa nasional kita. Tetapi pokok permasalahan yang penulis bahas tidak ada dalam disertasi tersebut.Di samping disertasi itu, ada juga sebuah kidung yang sering dibacakan dalam peringatan kematian (haul) beliau di Kajen. Selama seminggu “orang memperingati” kematian beliau tersebut. Puncaknya adalah pembacaan tembang/kidung tersebut di atas, dengan lebih dari 100 ribu orang hadirin. Namun, strategi yang diuraikan penulis di Ciputat itu, juga tidak muncul dalam “keramaian” di atas. Orang lebih tertarik kepada cerita-cerita tentang “keanehan” Kyai Mutamakkin, dari pada melakukan pembicaraan tentang peranan Kyai tersebut, sebagai seorang alim yang berpengetahuan agama sangat dalam. Dengan kata lain, orang lebih melihat ketokohan beliau, dan bukannya apa yang menjadi peranan beliau dalam kehidupan beragama Islam di kalangan kaum muslim tradisional di pantai utara Jawa Tengah (dan sedikit kawasan Jawa Timur).Yang penulis maksudkan dengan strategi yang beliau bawakan itu adalah merumuskan arah perkembangan dalam hubungan antara para ulama dan penguasa di Jawa waktu itu. Bupati Rifai dari Batang (kawasan sebelah barat Jawa Tengah) juga menggunakan Serat Cebolek dari Kraton Surakarta itu, sebagai “pendukung utama” atas kekuasaannya. Ini “dilawan” oleh para ulama setempat sekitar satu abad setelah “pemeriksaan” atas diri Kyai Mutamakkin oleh Katib Anom. Hal itu menunjukkan bahwa ada sebuah perkembangan sangat menarik dalam kehidupan kaum Muslim, yang juga ditentukan oleh sikap para ulama setempat, seperti terjadi sekarang ini. Karenanya, dalam makalahnya itu penulis mencoba melihat persoalannya dari sudut strategi perjuangan Islam di negeri ini.Hal dasar itu adalah hubungan antara para ulama sebagai “pimpinan umat” di satu pihak, dan para penguasa di pihak lain. Di masa hidup Kyai Mutamakkin, para ahli fiqh (hukum Islam) cenderung untuk ‘membela” para penguasa, bahkan dikala melakukan kesalahan-kesalahan yang besar. Populer sekali ungkapan bahwa para raja tradisional Jawa melakukan hubungan seksual dengan istri mereka, dan kemudian tidak melakukan mandi Junub, para bawahan merekalah yang melakukan hal itu. Sikap ini mungkin dilakukan karena adanya ‘ketentuan’ yang disebutkan Al-Qur’an, agar kaum muslimin selalu taat kepada Allah, utusannya dan para penguasa (Uli Al-Amri). Sikap “tutup mata” atas pelanggaran-pelanggaran fiqh oleh para penguasa ini, terjadi dalam skala yang besar dan meliputi masa yang panjang. Sebaliknya, para pemimpin tarekat, para mursyid dan badal-badal mereka, menentang penguasa yang ada, dan menyebut nama mereka secara terbuka di muka umum. Karena itu, kita kenal dari masa itu cerita-cerita tentang ulama yang dibakar hidup-hidup atau di kupas kulit mereka sebagai “hukuman dari para penguasa”. Penentangan langsung para pemimpin tarekat itu yang kemudian dirubah oleh Kyai Ahmad Mutamakkin. Ia tidak pernah menyerang penguasa manapun dengan menyebut nama terang-terangan. Ia mengemukakan sebuah “strategi penentangan alternatif” yaitu dengan menyebutkan bahwa penguasa yang baik selalu melaksanakan hal-hal yang baik pula. Dengan melakukan pendekatan positif seperti itu, ia justru ditentang oleh para ahli fiqh pada waktu itu. Mereka mempersoalkan hal yang menurut mereka merupakan pelanggaran fiqh yang dilakukan Kyai Ahmad Mutamakkin.Mereka mempersoalkan ijin yang diberikan Kyai kita itu kepada orang yang melukiskan gambar ular dan gajah secara penuh di dinding masjidnya., yang waktu itu dianggap haram. Demikian pula, ia bersedia menonton wayang kulit dengan lakon “Bima Suci” atau “Dewa Ruci”, yang mengakibatkan ia dituduh mengikuti faham mereka dengan menonton lakon itu. Tentu saja hal itu adalah sesuatu yang menggelikan hati kita dewasa ini, karena memang masalahnya adalah sesuatu yang bersifat akhlaq/moral, dan sangat sedikit menyangkut hukum fiqh. Itulah yang menjadi tema perdebatan antara Kyai Mutamakkin dan Katib Anom yang dianggap mewakili para ahli fiqh. Hampir-hampir tidak ada pihak yang mempersolakan strategi dasar yang diletakkannya bagi kepentingan umat dalam hubungan mereka dengan para penguasa. Pertanyaan pokoknya sekarang adalah: masih relevankah strategi dasar yang diletakkan kyai kita itu? Atau lebih jelas lagi, haruskah Nahdlatul Ulama (NU) meneruskan strategi dasar Kyai Ahmad Mutamakkin tersebut ataukah harus diganti dengan strategi dasar yang baru? Dapatkah kita menempuh strategi “demokratisasi bertahap” seperti yang dilakukan oleh para pemimpin NU sekarang? Atau NU justru harus mempelopori proses demokratisasi yang lengkap dari sekarang? Karena itu memang adalah “tuntutan agama”, jawaban atas pertanyaan di atas menjadi sesuatu yang sangat penting bagi kita semua sebagai bangsa. Ini menjadi penting, setidak-tidaknya dalam sikap NU menghadapi rangkaian pemilu tahun 2004; dan dalam hubungan antara NU dengan proses demokratisasi yang sedang berlangsung.Mengapakah harus NU yang dihadapkan kepada pertanyaan di atas? Karena memang NU dengan para warganya justru dihadapkan kepada tantangan klasik: setelah “lumpuhnya” gerakan-gerakan lain di negeri kita. Untuk memberikan respon yang positif saat ini, ternyata hanya tinggal para warga NU yang tersebar di berbagai gerakan yang diharapkan dapat menjawab tantangan keadaan yang dihadapi bangsa kita. Karenanya, jawaban pihak NU sangat dinanti-nanti pada saat ini karena merupakan “langkah kunci” bagi upaya merespon sikap menyepelekan dan merendahkan demokrasi. Proses yang mudah dikatakan, namun sulit dilakukan, bukan?

ucapan Gus Dur

"Dari sudut akidah, hak orang Islam memang lebih tinggi dari penganut agama lain. Tapi, Indonesia bukan negara Islam."

"Saya tidak khawatir dengan dominasi minoritas. Itu lahir karena kita yang sering merasa minder. Umat Islam --mungkin karena faktor masa lalu-- sering dihantui rasa kekalahan dan kelemahan."

"Islam janganlah dihayati sebagai ideologi alternatif. Ia harus dilihat sebagai hanya salah satu elemen ideologis yang melengkapi bangunan keindonesiaan yang telah terbentuk."

"Demokrasi harus berlandaskan kedaulatan hukun dan persamaan setiap warga negara tanpa meMbedakan latar belakang ras, suku agama dan asal muasal, di muka-undang-undang."

Senin, 15 Juni 2009

GUS DUR HABIB

Menurut Habib Lutfi Bin Yahya dari Pekalongan, Gusdur Seorang Habib
Posted on Juni 10, 2008 by Musadiq Marhaban

Hari ini sebuah komentar masuk ke blog saya yang memberikan update seputar nasab Abdurrahman Wahid (Gusdur) dan juga para leluhurnya. Komentar ini mengatakan bahwa secara nasab, Gusdur adalah seorang Saadah atau Alawiyin dan nasab keluarga ini telah dipublikasikan di dalam kitab Talkhis karya Abdullah bin Umar Assathiri. Sumber ini konon telah diteliti dan direstui oleh Rais Aam Jam’iyah Ahlith Thoriqoh Al-Muktabaroh An-Nahdliyyah oleh KH. Habib Lutfi Ali Yahya asal Pekalongan. Menurut sumber itu, nasab lengkap Gusdur adalah sebagai berikut :
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
bin
KH. Abdul Wahid Hasyim
bin
KH. Hasyim Asy’ari
bin
KH. As’ari
bin
Abu Sarwan
bin
Abdul Wahid
bin
Abdul Halim
bin
Abdurrohman (P. Sambud Bagda)
bin
Abdul Halim (P. Benawa)
bin
Abdurrohman (Jaka Tingkir)
bin
Ainul Yaqin (Sunan Giri)
bin
Ishak
bin
Ibrohim Asmuro
bin
Jamaludin Khusen
bin
Ahmad Syah Jalal
bin
Abdulloh Khon
bin
Amir Abdul Malik
bin
Alawi
bin
Muhammad Shohibul Mirbat
bin
Ali Choli’ Qosam
bin
Alawi Muhammad
bin
Muhammad
bin
Alawi
bin
Ubaidillah
bin
Ahmad Al-Muhajir Ilallah
bin
Isa Arrumi
bin
Muhammad Annaqib
bin
Ali Al-’Uroidi
bin
Ja’far Shodiq
bin
Muhammad Al-Baqir
bin
Ali Zaenal Abidin
bin
Husein
putra
Siti Fathimah Az-Zahro
binti
Rasulillah, Muhammad saw